Wisata Kuliner Myanmar
Rasanya kurang afdol ya jika kita bepergian ke suatu tempat tanpa
merasakan cita rasa masakan lokal. Begitu juga saat saya mengunjungi
Myanmar akhir Oktober lalu, saatnya berpetualang menikmati kuliner
negeri Aung San Suu Kyi!
Myanmar dengan pendapatan per kapita pada 2012 sebesar USD 1.125,9
jauh lebih rendah dari Indonesia yaitu sebesar USD 3.556,8 (sumber :
data.un.org), termasuk kategori Negara miskin dan memiliki daya beli
yang rendah, termasuk untuk kebutuhan pangannya. Tak heran jika secara
umum harga- harga makanan di Myanmar lebih murah daripada di Indonesia
(berdasarkan pengamatan singkat saya selama beberapa hari keliling 3
kota di Myanmar).
Memang makanan Myanmar belum terlalu popular jika dibandingkan dengan makanan negara-
negara tetangganya. Misalnya saja
tom yam goong dari Thailand atau
Vietnamese springroll
dari Vietnam. Namun, Myanmar sebenarnya memiliki khasanah kuliner yang
cukup luas dengan pengaruh China, India, dan suku- suku asli Myanmar
seperti Bamar, Rakhine dan Shan.
Jika kamu tidak memiliki keterbatasan untuk mencoba berbagai jenis
makanan maka berpetualang kuliner di Myanmar sepertinya cukup
mengasyikkan. Karena saya muslim, jadi saya mencoba makanan halal yang
tidak mengandung babi.
Ini dia beberapa makanan khas Myanmar yang pernah saya coba:
- Noodle Salad/ Tofu Salad
Noodle salad adalah
street food pertama yang saya coba di
Yangon. Penjualnya seorang lelaki muda dan bisa sedikit berbahasa
Ingggris. Ketika saya tanya apa nama makanan ini, si abang menjawab ‘
noodle salad’
karena ada beberapa jenis mie yang digunakan. Tapi dia juga menggunakan
tofu atau tahu tapi lebih lembut dan padat, sehingga sering disebut
juga
tofu salad. Sekilas bongkahan tofu berwarna kuning ini mirip sekali dengan keju lho, saya sempat terkecoh mengiranya sebagai keju.
Si abang mulai mencampurkan beberapa bahan yang terdiri dari mie
kuning, mie putih, irisan kol, irisan tahu, dibumbui dengan kaldu ikan
dan cabe bubuk ke dalam sebuah mangkuk logam. Setelah mencampur seluruh
bahan- bahan tersebut, si abang memasang sarung tangan plastic dan mulai
mengaduk- aduk sampai rata dan menempatkannya di sebuah mangkuk kecil
dan dilengkapi dengan taburan daun seledri dan bawang goreng. Uniknya,
mie ini lazim ditemani dengan ceplusan cabe hijau dan bawang putih
mentah!
Rasanya? Enakkkkk! Ini adalah salah satu makanan favorit saya selama
di Myanmar. Rasanya mirip- mirip mie goreng, tapi dibuat tanpa digoreng.
Harganya hanya 300 kyat (+- Rp.3.600,-) saja, dan bisa ditemukan di
mana- mana. Ciri- cirinya, tukang noodle salad ini berdagang dengan
sebuah pikulan yang salah satu sisinya dipenuhi dengan bahan- bahan
noodle salad termasuk satu blok tofu yang sekilas mirip keju itu.
Oiya, tidak semua penjual noodle salad, dan
street food
lainnya yang cara meraciknya diaduk dengan tangan, menggunakan sarung
tangan saat meracik. Jika ingin mencoba, sebaiknya lihat dulu si penjual
meracik makanannya, karena jika dia tidak menggunakan sarung tangan
saat mengaduk- aduk, hmm sebaiknya cari saja penjual lainnya.
- Mohinga
Mohinga adalah menu sarapan yang paling mudah ditemui di Myanmar,
seperti bubur ayam kalau di Indonesia. Karena keterbatasan bahasa,
setiap kali mau sarapan, saya pasti memesan ‘
mohinga and tea, please’.
Mohinga terdiri dari campuran bihun (mie dari tepung beras) disajikan dalam kuah ikan kental (biasanya ikan lele/
catfish), dilengkapi dengan telur rebus, gorengan atau cakwe, dan uniknya ada campuran irisan batang pisang!
Mohinga yang aslinya makanan suku Bamar, merupakan salah satu makanan
Myanmar yang popular dan gampang dijual dimana- mana mulai dari
pedagang kaki lima, warung makan, sampai restoran dan hotel pun biasanya
menyajikan menu mohinga. Tak heran, setiap daerah memiliki style
mohinga tersendiri. Jadi jangan heran, jika mohinga yang dimakan di
Yangon berbeda dengan yang di Mandalay atau Bagan.
Rasanya? Favorit! Mirip dengan masakan Indonesia. Makanya saya rela
memesannya setiap hari untuk sarapan. Hehe. Harganya juga cukup masuk
akal, sekitar 500- 700 kyat (+- Rp.6.000 – Rp.8.400)/ porsi.
- Lahpet/ Pickled tea leaf salad
Saya memilih menu ini ketika mampir di sebuah warung teh di Bagan. Saat melihat – lihat menu, saya menemukan ‘
pickled tea leaf salad’
alias salad dauh teh. Hmm, terdengar sedikit aneh memang. Karena di
Indonesia daun teh digunakan sebagai minuman bukan makanan. Karena
penasaran, saya beranikan untuk memesan satu porsi salad daun teh yang
dalam bahasa Myanmar disebut
Lahpet.
Lahpet sejatinya merupakan makanan penutup dan sering disuguhkan dalam acara keagamaan, acara keluarga, atau sekedar nongkrong bareng.
Lahpet seharga 500 kyat (+- Rp.6.000) tersebut disajikan
dalam sebuah mangkok kecil, terdiri dari campuran dauh teh yang
difermentasi, irisan tomat, kacang, kol, taburan wiijen. Rasanya sedikit
asam segar dari dauh teh, dan
crunchy karena ada campuran kacang goreng dan kol segar.
- Myanmar Tea
Hal pertama yang menarik perhatian saya ketika jalan – jalan di
Yangon adalah banyak orang duduk – duduk di bangku kecil sambil ngobrol
dan menyesap sesuatu dari sebuah cangkir putih kecil.
Ternyata minum teh merupakan salah satu bentuk kegiatan
bersosialisasi untuk warga Myanmar. Mereka bisa lho betah berlama- lama
duduk sambil ngobrol dan menikmati teh di pinggir- pinggir jalan.
Orang Myanmar juga sepertinya suka jajan dan nongkrong- nongkrong. Makanya
street food
ada di mana- mana, tempat nongkrong kalau di Indonesia mungkin semacam
warkop juga bertebaran di mana- mana. Dan herannya juga selalu ramai
lho. Hmm, bisa jadi ini yang bikin Myanmar juga nggak maju- maju. Lha
orang- orang usia produktifnya kebanyakan duduk- duduk ngeteh di jam
kerja!
Dan kebiasaan nongkrong di warung teh ternyata menular kepada saya
dan Jenni. Setiap kami lelah berkeliling dan butuh duduk sebentar, yang
kami cari pasti kedai/ warung yang menyajikan teh panas khas Myanmar.
Teh Myanmar disajikan dalam sebuah cangkir kecil- kadang malah
cangkir mini, dicampurkan dengan susu kental manis dan susu murni panas,
mirip dengan teh tarik. Dan teh Myanmar ini selalu disajikan panas,
walaupun kita memesan dalam cuaca panas di tengah hari. Harganya paling
murah 200 kyat (+- Rp.2.400,-) dan paling mahal 500 kyat (Rp.6.000,-).
Teman minum teh nya biasanya berbagai jenis gorengan, atau jajanan khas
India seperti samosa, dosa (mirip crepes) dan roti chapati.
Kalau ketagihan dengan teh Myanmar, boleh juga membawa pulang teh
Myanmar instan yang dijual di toko- took termasuk di beberapa kios di
Bogyoke Aung San Market, seperti teh merk ‘Royal’ yang bungkusnya
berwarna hijau seharga 2.800 kyat ( Rp.34.000,-) untuk 30 sachet.
- Belalang Goreng
Nah, ternyata makanan ‘unik’ seputar hewan goreng- gorengan tidak
cuma dimiliki Thailand atau Vietnam saja. Yangon juga punya nih! Ini dia
belalang goreng ala Yangon!
Agak geli ya melihat tumpukan belalang goreng berukuran sebesar
jempol orang dewasa itu sedang menanti para pembelinya. Tapi, tantangan
dari Jenni memaksa saya untuk mencobanya.
Satu belalang goreng seharga 100 kyat (+- Rp.1.200,-) akhirnya sukses
mendarat di lidah saya. Rasanya? Enak- enak saja. Tidak se-menjijikkan
penampakannya. Hehe. Rasanya sedikit hambar, renyah kemriuk karena telah
digoreng garing sampai kedalam.
- Ikan Bakar
Selain makanan- makanan di atas yang sepertinya irit protein hewani, ternyata ada sebuah lorong di Yangon yaitu di 19
th
street dekat dengan Chinatown yang menyediakan ikan bakar dan berbagai
macam sayuran serta sumber protein hewain lainnya seperti ayam, sosis,
dll yang ditusuk ala sate dan dibakar.
Ikan bakar ini adalah ikan air tawar yang berasal dari sungai di
Myanmar seperti sungai Ayeyawardi dan Sungai Irrawadi. Ikan bakar
disajikan dengan daun ketumbar dan saus yang ternyata pedas!
————————————————————————————————————————————————————
Selain makanan- makanan di atas, di Yangon ada banyak restoran nasi
briyani. Beberapa orang lokal Yangon yang kami temui di jalan getol
sekali merekomendasikan makan nasi briyani. Komunitas muslim keturunan
India dan Arab di area downtown Yangon memang cukup banyak, tak heran
restauran halal seperti masakan Arab India tersebut cukup mudah ditemui
di sekitaran Yangon, salah satunya resto “Nilar Briyani & Cold
drink” yang memiliki banyak cabang di seantero Yangon. Menunya tidak
jauh dari masakan khas negeri anak benua tersebut, seperti nasi briyani
ayam dan kambing.
Selain nasi briyani, makanan yang kental dengan pengaruh cita rasa
India antara lain roti capati, dosa, dan samosa yang banyak dijual di
sekeliling
moslem area di pusat kota Yangon.
Saya juga sempat mencoba nasi rames ala Yangon, yang dijual oleh
seorang ibu muslim berwajah campuran India dan Asia Tenggara. Lucunya,
lalapan disini pakai daun mint lho. hehe.
Oiya, di Yangon juga baru saja dibuka Toba Cafe restaurant yang
(masih) berstatus sebagai satu- satunya resto Indonesia di Myanmar.
*tepuk tangan*
Hari terakhir saat sedang berjalan menuju Shwedagon Pagoda, tiba-
tiba 2 orang lelaki setengah baya menyapa kami dengan bahasa Indonesia.
Mereka adalah Om Damak dan Om Saefudin, dua koki dari Restauran Toba
yang bekerja sama dengan pemilik modal asal Singapura mendirikan
Restoran Toba. Akhirnya mampirlah kami ke restoran yang baru saja dibuka
Juli 2014 tersebut.
Pengunjung restauran rata- rata perantau dari Malaysia dan Indonesia.
Warga Myanmar masih sedikit yang sering mampir, karena untuk standar
Yangon harga makanan di resto ini bisa dibilang cukup mahal. Saat timnas
sepakbola U-19 berlaga di Myanmar oktober lalu, restoran ini juga
menjadi salah satu tempat kontingen Indonesia, beserta wartawan dan
suporternya untuk melepas rindu dengan masakan khas nusantara.
Jadi, kalau kurang cocok dengan masakan Myanmar atau sudah rindu
berat dengan masakan Indonesia, singgahlah ke restoran Toba yang
terletak tak jauh dari Sule Pagoda, tepatnya di Nawaday Street Dagon
Township nomor 15. Menu yang disajikan cukup mewakili rasa Indonesia,
mulai dari nasi goreng, nasi timbel, soto, rendang, penyetan, mie kuah
sampe wedang jahe semuanya ada! Harganya berkisar dari 3.000- 4000an
kyat (Rp.30.000- Rp.50.000) masih masuk dengan standar harga Indonesia
kan ya.